Adsense Indonesia
Home » , » Keberadaan “ BIDADARI ” di Surga (M. Ali Al-Sabuni)

Keberadaan “ BIDADARI ” di Surga (M. Ali Al-Sabuni)

Written By Getaran Ilmu on Jumat, 24 Mei 2013 | 21.16

1.Penciptaan Bidadari
Dalam masalah penciptaan bidadari, al-Sabuni tidak membahasnya secara luas, dan juga tidak menyampaikan pemikirannya secara rinci, kecuali sedikit yang diambil dari riwayat Ibn Abbas dan Hadits Ummu Salamah, sehingga penjelasan al-Sabuni dalam hal ini, tidak bisa betul-betul menjawab bagaimana proses bidadari diciptakan. Oleh karenanya, dalam hal ini penulis akan membandingkan sedikit penafsiran al-Sabuni tentang ayat yang terkait dengan penciptaan bidadari dengan pendapat Ibn Qayyim.

Hanya saja yang perlu digarsibawahi dari pendapat al-Sabuni mengenai penciptaan bidadari di surga adalah, bahwa al-Sabuni mengakomodasi pendapat yang menyatakan bahwa sebagian bidadari berasal dari wanita mukminat di dunia, bahkan dijadikan lebih cantik.[1]

Al-Sabuni menjelaskan penciptaan bidadari ini ketika memberikan tafsir atas Qs. Al-Waqi’ah:35-38.[2] Al-Sabuni menyatakan bahwa maksud firman “inna ansya’nahunna insya’” adalah bahwa “Aku jadikan wanita-wanita surga itu sosok yang baru, yang pembuatannya sangat mengherankan.”[3] Sifat menta’ajubkan ini terjadi karena –sebagaimana telah dipaparkan di atas- proses penciptaan maupun jenis makhluk yang diciptakan bersifat “baru”, sehingga masih asing bagi makhluk yang berasal dari dunia.

Al-Sabuni dengan mengutip Ibnu Jazi dalam kitabnya al-Tashil fi ‘Ulum al-Tanzil menyatakan bahwa makna insya’ al-nisa yaitu Allah menciptakan mereka sebagai makhluk baru yang sangat cantik tidak seperti di dunianya. Di surga nanti, walau ketika di dunia telah menjadi seorang nenek-nenek, ia akan kembali menjadi muda, serta tidak memiliki cacat dalam rupanya, ia akan berubah menjadi gadis yang cantik mempesona.[4] Dengan mengutip Ibnu Abbas dari Tafsir al-Khazin, al-Sabuni mempertegas pendapat tersebut dengan menyatakan bahwa nenek-nenek yang sudah lanjut usia, ompong dan kempot (tidak punya gigi lagi) akan dijadikan oleh Allah kembali perawan sebagai makhluk yang sama sekali sudah lain.[5]

Demikian pula, perempuan yang di dunia sudah dijima’ oleh suaminya, oleh Allah akan dijadikan perawan, hanya kembali mencintai suaminya, serta sangat menggairahkan, dan usianya sepadan dengan suaminya, yang rata-rata 33 tahun.[6] Nampak di sini bahwa al-Sabuni meletakkan konsep bidadari yang berasal dari perempuan mukminat di dunia, sehingga dalam hal penciptaan bidadari ini, al-Sabuni hanya membahas bidadari yang berasal dari wanita s}alihat di dunia, tidak membahas bidadari yang khusus diciptakan di akhirat. Sehingga penafsiran al-Sabuni pada ayat-ayat ini dan yang seperti ini, tidak bisa dikaitkan dengan penafsirannya yang memberikan makna hur secara netral kelamin.

Keberadaan “ BIDADARI ”  di Surga (Alur Pemikiran M. Ali Al-Sabuni). Terkait dengan ayat tersebut, al-Sabuni juga mengutip Hadits terkenal yang berasal dari Ummu Salamah, bahwa ketika Nabi ditanya mengenai bidadari surga, Nabi menjawab, “mereka adalah wanita-wanita dunia yang di saat kematiannya mereka dalam keadaan lanjut usia, kempot, ompong dan bungkuk, yang dijadikan Allah kembali dalam usia yang sama.”[7]

Al-Sabuni juga meriwayatkan hadis yang menginformasikan tangisan seorang wanita tua, ketika Rasulullah menyatakan bahwa orang yang sudah tua tidak bisa masuk surga. Wanita tersebut memangis karena merasa peluangnya masuk surga tidak ada karena usianya yang sudah tua. Lalu nabi pun memberitahukan bahwa ia nanti akan masuk surga bukan dalam keadaan lanjut usia, karena Allah telah berjanji bahwa para wanita akan dijadikan kembali perawan dan berusia muda.[8]

Jadi jelas bahwa penjelasan al-Sabuni mengenai penciptaan bidadari hanya menyangkut bidadari yang berasal dari wanita s}alihah dunia, tidak termasuk bidadari yang khusus dicipta di surga. Memang sejauh informasi al-Qur`an, tidak terdapat ayat yang mengetengahkan atau mengisyaratkan tentang bagaimana bidadari surga diciptakan.

Berbeda dengan al-Sabuni, Ibnu Qayyim menggali banyak riwayat mengenai penciptaan bidadari yang tidak berasal dari wanita dunia. Dengan mengumpulkan berbagai informasi ‘ulama’ dan Hadits Nabi, Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa bidadari surga diciptakan dari za’faran, khususnya yang diperuntukkan bagi para wali Allah, yang disediakan pengantin yang tidak pernah dilahirkan oleh Adam dan Hawwa'.[9] Sehinga karena bahan baku dari za’faran tersebut, maka bidadari surga memancarkan cahaya dan sinar gemerlap yang mempesona siapapun yang melihatnya. Sementara mereka semua telah bersiap menunggu suami-suaminya di pintu surga.[10] Demikian menurut Ibn Qayyim.

Tentu sampai di sini justru diketemukan kelebihan dari al-Sabuni dalam memberikan tafsiran atas ayat-ayat Tuhan. Al-Sabuni hanya menggunakan riwayat-riwayat yang jelas dan mutawatir, dan tidak mau menggunakan riwayat yang bersifat dugaan, cerita, mitos, tidak mutawatir, serta mengundang polemik. Nampak bahwa al-Sabuni ingin membiarkan al-Qur`an bercerita mengenai isi dirinya sendiri.


2.Perbedaan antara Pelayan Surga dan Bidadari

Al-Qur`an dalam Qs. Al-Rah}man secara jelas membedakan antara pelayan surga dengan bidadari. Bidadari bukanlah pelayan surga, namun ia merupakan makhluk khusus yang memiliki jenis pelayanan surgawi yang khusus pula.

Penyebutan pelayan-pelayan surga juga dibedakan secara tersendiri dengan bidadari surga. Dalam al-Qur`an, terdapat dua ayat pokok mengenai pelayan surga, satu ayat disebutkan secara mandiri, tidak memiliki rangkaian ayat dengan penyebutan bidadari, dan satu ayat lainnya disebutkan dengan berangkaian dengan ayat-ayat tentang bidadari.

Istilah yang dipakai al-Qur`an mengenai masalah pelayan surga adalah “wildanun mukhalladun”. Wildanun berarti anak-anak muda. Berdasarkan akar katanya, mukhalladun memiliki dua arti, namun tetap mempunyai muara makna yang sama. Pertama berasal dari kata al-khuld yang artinya baka atau abadi, kekal, tidak mati selama-lamanya.[11] Dan kedua dari kata al-khildah dengan jamak khiladun berarti orang yang mengenakan anting dan gelang. Ini merupakan simbol bagi pelayan-pelayan abadi. Dalam istilah Arab julukan (laqab) “mukhalladun” dikenakan bagi orang yang lanjut usia tetapi tidak beruban, giginya terjaga, tidak rontok.[12] Jadi wildanun mukhalladun diterjemahkan sebagai pelayan-pelayan muda yang tetap dalam kemudaannya.[13]

Ayat tentang pelayan surga yang berdiri sendiri adalah Qs. Al-Insan:19:
  

“Dan mereka dikelilingi oleh pelayan-pelayan muda yang tetap muda. Apabila kamu melihat mereka kamu akan mengira mereka, mutiara yang bertaburan.” (Qs. Al-Insan:19)



Sedangkan ayat yang berangkai dengan ayat-ayat tentang bidadari adalah Qs. Al-Waqi’ah:17-18:
  
“Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda, dengan membawa gelas, cerek dan sloki (piala) berisi minuman yang diambil dari air yang mengalir.” (Qs. Al-Waqi’ah:17-18).



Terhadap ayat tersebut al-Sabuni menafsirkannya “terhadap mereka selalu didampingi pelayan yang berkhidmat yang terdiri atas anak-anak muda di sekelilingnya, mereka tidak pernah mati dan tidak pernah berubah.”[14] Sifat utama para pelayan surga itu adalah: terdiri atas anak-anak muda, selalu berkhidmat terhadap penghuni surga, selalu siap memberikan pelayan sesuai keinginan penghuni surga (mengelilingi para penghuni surga), tidak berubah keadaan kemudaannya, belum pernah terjamah atau tersentuh oleh apa dan siapapun (maknun), sangat rupawan, tidak mati,[15] selalu dalam pekerjaan pelayanan yang ditunjukkan dengan ayat bahwa mereka selalu berhiaskan gelas minuman, beserta cerek dan slokinya. Diberikannya pelayan-pelayan tersebut, menurut al-Sabuni memang dikhususkan bagi orang beriman dikarenakan perilaku al-abrarnya sewaktu di dunia.[16]

Sedangkan sifat para pelayan surga yang diibaratkan sebagai mutiara yang bertaburan mengisyaratkan bahwa para pelayan tersebut memiliki kebeningan kulit yang memukau dan kebagusan wajah yang mempesona. Mengutip al-Razi, al-Sabuni menyatakan bahwa pernyataan itu mengandung tasybih al-‘ajib, dengan mutiara yang bertebaran itu, maka keindahan dan keistimewaan mutiara semakin nampak kian nyata.[17]

Keberadaan “ BIDADARI ”  di Surga (Alur Pemikiran M. Ali Al-Sabuni). Penafsiran al-Sabuni tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ibnu Qayyim, bahwa ada dua hikmah besar mengapa pelayan surga dibuat bertebaran di mana-mana: pertama, menunjukkan bahwa para pelayan surga tidak pernah menganggur. Mereka mondar-mandir di surga dalam rangka berkhidmah kepada penghuni surga dan memenuhi keperluan mereka. Kedua, bahwa mutiara yang disebar di atas permadani dari emas dan sutra itu lebih indah di mata daripada dikumpulkan di satu tempat.[18]

Al-Sabuni dalam tafsirnya tidak menyebutkan bagaimana para pelayan surga diciptakan. Sedangkan Ibnu Qayyim menginformasikan bahwa dalam masalah ini, terdapat dua pendapat: pertama, bahwa para pelayan surga diciptakan dari anak-anak muslim dunia yang meninggal dalam keadaan tidak memiliki kebaikan dan keburukan. Mereka menjadi pelayan surga karena di surga tidak ada proses kelahiran. Selain itu juga berasal dari anak-anak yang meninggal dunia di masa kecil. Pendapat kedua adalah, bahwa para pelayan surga diciptakan khusus di surga sebagaimana juga bidadari yang diciptakan khusus di surga. Inilah yang dipegangi oleh Ibnu Qayyim.[19]

Dari uraian tersebut jelas, bahwa al-Sabuni membedakan antara bidadari dengan pelayan surga. Pelayan surga adalah terdiri atas anak-anak muda yang diciptakan di surga yang berfungsi bagi pelayan penghuni surga, termasuk melayani bidadari yang menjadi pasangan penghuni surga. Sementara bidadari adalah pasangan penghuni surga, dengan tugas menjadi tambahan kenikmatan bagi mereka. Kesamaannya dengan bidadari adalah bahwa mereka diciptakan khusus di surga, dan belum pernah tersentuh oleh apa dan siapapun.

3.Ciri-ciri Bidadari di Surga

Dalam menjelaskan sifat-sifat atau ciri-ciri bidadari di surga, al-Sabuni dalam penafsirannya tidak melebihi apa-apa yang diinformasikan olah al-Qur`an. Ia hanya bersifat lebih memperjelas mengenai sifat bidadari menurut al-Qur`an. Secara terperinci, sifat-sifat bidadari menurut al-Sabuni adalah sebagai berikut:

a. Sosok pasangan yang suci

Menurut al-Sabuni, bidadari di surga disucikan dari kotoran hissiyah maupun maknawiyah. Dalam hal ini, al-Sabuni juga mengutip ‘ulama’ lain yang menyebutkan bahwa bidadari disucikan dari kotoran haid, nifas, buang air maupun dahak. Namun al-Sabuni menyambungnya dengan pernyataan bahwa wanita dunia mukminah di hari akhir lebih cantik dibanding bidadari.[20] Sehingga yang dimaksud suci dari haid, nifas dan kotoran kewanitaan lain adalah bidadari yang berasal dari wanita mukminah dunia. Secara tidak langsung, al-Sabuni menekankan bahwa ada dua jenis bidadari di surga, yaitu: bidadari yang berasal dari dunia, yang menjadi pasangan suaminya dari dunia juga, jika sama-sama beriman; dan bidadari dan bidadara yang khusus diciptakan di surga.

b.    Diciptakan abadi

Keabadian menjadi ciri yang menyatu bagi bidadari, sebagaimana keabadian alam akhirat. Menurut al-Sabuni, keabadian inilah yang menjadi salah satu kunci kebahagiaan yang sempurna. Karena penghuni surga bersama pasangannya berada dalam tempat yang aman dan bersanding hidup dengan pasangan-pasangannya dalam buaian keabadian yang tiada pernah putus.[21] Dengan begitu keabadian akhirat menurut al-Sabuni, karena tiada putus, merupakan keabadian yang mutlak, tanpa batas waktu lagi, atau tiada dimensi ruang dan waktu yang membatasinya lagi

c.Dipingit di dalam kemah mutiara

Al-Sabuni berpendapat, bahwa maksud dari maqs\urat fi al-khiyam, adalah bahwa bidadari di surga hanya berjalan-jalan keliling di sekitar kemah, bahkan lebih banyak berdiam di dalamnya, tidak keluar karena kehormatan dan kemuliaannya, dalam kemah yang terbuat dari mutiara yang memang disediakan untuk mereka. Mereka membatasi diri hanya dalam ruangan yang terbuat dari mutiara itu.[22]

d.Memiliki adab atau akhlak mulia

Bidadari di surga menurut al-Sabuni, merupakan wanita-wanita s}alihah yang memiliki akhlak yang sangat mulia di samping rupanya yang sangat cantik.[23] Jadi makna khairatun h}isan, memiliki dua dimenasi; wajah yang jelita dan akhlak yang mulia.

e.    Hanya untuk pasangannya sendiri saja

Bidadari di surga, menurut al-Sabuni, memiliki sifat hanya membatasi pandangan matanya kepada pasangannya saja, dan tidak memandang yang lain, seperti keadaan wanita-wanita pencinta dan penyayang.[24] Jadi kekhususan pasangan menjadi ciri utama bagi bidadari surga.

f. Belum pernah tersentuh, terjamah, dan tersenggamai oleh siapapun

Salah satu sifat utama bidadari menurut al-Sabuni adalah keperawanannya yang sejati. Belum pernah ada seseorangpun yang pernah manjamah dan menyenggamainya kecuali pasangannya di surga itu, baik dari manusia maupun jin. Mereka betul-betul perawan yang sejati (ting-ting).[25] Hanya saja nampaknya sifat ini dikenakan pada bidadari yang dicipta khusus di surga, menilik pernyataan bahwa belum pernah tersentuh oleh makhluk. Jika wanita mukminah di dunia, pasti sudah mengalami persentuhan dengan pasangannya di dunia, walaupun di akhirat dijadikan perawan sejati kembali. Namun kalimat al-Sabuni jelas menunjukkan kebelum-pernah disentuhnya bidadari itu sebelum di surga. Mengutip pendapat dari kitab al-Tashil, al-Sabuni mengemukakan bahwa penyebutan kalimat lam yat}mis\hunna insun wala jann sebanyak dua kali dalam Qs. Al-Rah}man ini, pertama ditujukan bagi kelompok al-sabiqun, dan yang kedua bagi kelompok as}h}ab al-yamin. Jadi penggambaran sifat-sifat surga untuk masing-masing kelompok orang beriman memiliki perbedaan dan kekhususan sendiri-sendiri, surga bagi kelompok pertama lebih tinggi dibanding bagi kelompok yang berikutnya.[26] Sehingga menurut al-Sabuni, tingkatan bidadari yang diberikan pun berbeda untuk masing-masing kelompok orang beriman.

g.Menyerupai mutiara yang paling mulia

Bahwa bidadari di surga, menurut al-Sabuni menyerupai yaqut  dan marjan dalam kebeningan dan kemerah-merahannya (bersih dan sangat mulus) sampai-sampai tembus pandang.[27] Mengutip Qatadah, al-Sabuni mengemukakan bahwa dalam bersih dan beningnya menyerupai yaqut, sedang kemerah-merah-jambuannya (kecantikan yang tiada tara) menyerupai marjan. Segala sesuatu yang dimasukkan dalam yaqut , pasti akan dapat dilihat dari semua sisi.[28]

h.Berada di tempat yang tinggi

Menurut al- al-Sabuni, bidadari di surga berada di atas dipan atau ranjang yang tinggi, empuk, dan nyaman. Hal ini didasarkan pada Hadits riwayat Hakim yang menyatakan bahwa tingginya dipan itu seperti tingginya langit dengan bumi yang untuk mencapainya membutuhkan waktu selama limaratus tahun.[29] Namun bukan berati bahwa untuk mencapainya sulit. Mengutip al-Alusi, al-Sabuni menyatakan bahwa jika seseorang ingin naik turun dipan, maka dengan sendirinya dipan tersebut akan menyesuaikan diri. Jika seorang mukmin ingin naik, maka dipan tersebut akan turun, kemudian setelah orang tersebut naik, maka dipan itu akan mengangkatnya.[30]

i.Diciptakan sebagai makhluk yang sama sekali baru

Bidadari merupakan makhluk yang diciptakan khusus di surga, yakni berupa makhluk yang sama sekali baru dalam penciptaan, lagipula bersifat unik. Sehingga ia menjadi makhluk yang mampu mendatangkan keta’juban luar biasa. Keelokan dan keanehan penciptaan itu terjadi, karena memang berbeda sama sekali dengan segakla jenis ciptaan di dunia.[31]

j.Selalu dalam keadaan perawan

Sifat abkara, oleh al-Sabuni diberi makna tafsir sebagai perawan ting-ting sepanjang masa. Setiap kali pasangannya mendatanginya, setelahnya langsung kembali perawan lagi.[32]



k.Memiliki kecintaan dan kerinduan menggebu kepada pasangannya

Para bidadari di surga memiliki semangat kecintaan serta kerinduan yang menggebu-gebu.

Mengutip Mujahid, al-Sabuni mengatakan bahwa salah satu sifat bidadari adalah agresif terhadap pasangannya, dalam hal bermain cinta.[33]

l.Berusia rata-rata muda

Menurut al-Sabuni, bidadari di surga memiliki usia yang rata-rata muda, dan sama dengan pasangannya, yaitu berusia 33 tahun,[34] sebuah usia puncak kedewasaan dan usia yang sangat agresif dalam hal percintaan.

m.Kecantikannya dan kesuciannya tidak ada yang menyamai

Bahwa bidadari di surga memiliki kecantikan dan keelokan tiada tara, kebeningan yang sangat, demikian pula seperti mutiara yang tersimpan, kesuciannya yang belum pernah tersentuh.[35] al-Sabuni mengutip h}adis} Ummu Salamah yang menggambarkan bahwa kejernihan h}urun ‘in ibarat mutiara yang tersimpan di tengah lautan yang belum pernah tersentuh oleh tangan.[36]

n.Memiliki fisik yang sempurna

Bidadari di surga memiliki bentuk fisik yang paling sempurna, yang ditunjukkan dengan gairah yang tinggi dari keperawanannya, serta bentuk payudara yang menyembul keluar. al-Sabuni memperkuat tafsirnya ini dengan mengutip al-Tashil, bahwa kata al-kawa’ib merupakan bentuk jamak dari ka’ib yang memiliki arti dasar gadis perawan yang menonjol (keluar tegak) bentuk payudaranya.[37]

o.Usianya sama dengan suaminya

Sebagaimana dijelaskan pada poin sebelumnya (poin l) bahwa usia bidadari di surga setara dengan pasangannya. Tidak lebih dan tidak kurang.[38]

p.Selalu bersenang-senang dengan sumianya

Dijelaskan oleh al-Sabuni bahwa orang-orang beriman akan masuk ke surga bersama pasangan-pasangan wanitanya (isterinya) yang beriman. Kemudian di dalam surga mereka berni’mat-ni’mat, bersenang-senang (istisrar), sehingga kebahagiaan itu memancar dari wajah-wajah mereka.[39] Sifat ini –sebagaimana diberikan tafsirnya oleh al-Sabuni - mengarah pada dua hal; bahwa bidadari dalam ayat ini adalah bidadari yang berasal dari wanita mukmin di dunia, yang bersama suaminya yang beriman bersama-sama masuk surga. Dan di dalam surga, mereka bersenang-senang sebagai suami isteri, di mana kata tuh}barun, bermakna istimta’ (hubungan badan).

q.Keanggunan yang sempurna

Bidadari di surga, baik yang dari wanita mukminah di dunia, maupun yang khusus diciptakan di surga, semuanya memiliki keanggunan yang tiada tara, (sehingga digelari h}urun ‘in), sebagai deskripsi puncak tentang sosok yang rupawan dan dipenuhi segala kesempurnaan, demi memenuhi kebahagiaan para penghuni surga.[40] Kembali lagi di sini ditekankan oleh al-Sabuni, bahwa julukan h}urun ‘in adalah bersifat netral kelamin.

4.Bidadari dan Amal Perbuatan Manusia

Dalam al-Qur`an tidak semua informasi yang menyangkut surga selalu disertai dengan adanya bidadari di dalamnya. Informasi tentang surga yang disertai informasi adanya bidadari di dalamnya hanyalah menyangkut pada beberapa tempat, yang sekaligus mencantumkan informasi jenis sifat dan amal s}alih tertentu dari orang beriman.

Sebelum membahas pendapat al-Sabuni tentang hubungan bidadari dan amal perbuatan manusia, ada baiknya jika penulis kemukakan gambaran umum mengenai surga dari dalam al-Qur`an

Dalam al-Qur`an, jumlah ayat yang berkaitan dengan surga berjumlah 174, adapun yang berkaitan dengan kata dasar jannah berjumlah 159.

Istilah surga sebenarnya berasal dari bahasa Sansekerta suwarga yang bermakna tempat kebahagiaan puncak.[41] Sedang istilah tersebut digunakan oleh umat Islam untuk menerjemahkan kata jannah dalam bahasa Arab, yang arti harfiahnya adalah kebun, atau taman yang penuh keindahan,[42] sebagai tempat bagi orang-orang yang menemukan kebahagiaan kekal di akhirat.

Dalam Qs. Ali Imran/3;15 Allah melukiskan, bahwa surga terdiri dari sungai-sungai yang indah, kekal, bagi penghuninya tersediakan pasangan hidup (suami atau isteri) yang disucikan dan diridhai Allah. Sifat keindahannya melebihi segala kenikmatan yang ada di dunia, walaupun itu mencakup keindahan hiasan wanita, anak-anak, harta dari emas maupun perak, kendaraan pilihan, binatang ternak maupun segala hewan piaraan serta sawah dan ladang.

Sehingga diingatkan bahwa surga itulah yang merupakan tempat kembali manusia yang terbaik. Bagi penghuninya disediakan mata air banyak yang mengalir serta menyejukkan penghuninya, dan setiap memasuki pintu-pintunya selalu disambut dengan ucapan “masuklah ke dalamnya dengan sejahtera dari semua kesalahan lagi aman dari kematian serta dari hilangnya keni’matan,” dilenyapkan segala dendam maupun perasaan buruk, selalu merasa bersaudara dengan saling mencintai dan saling memuliakan, tidak ada lagi kelelahan, dan kebahagiannya bersifat abadi karena memang surga berwatak suci dan bahagia selamanya.[43]

Mereka semua mengenakan perhiasan dari gelang-gelang emas serta mutiara, di samping mengenakan sutra, dikarenakan dahulu di dunia mereka mematuhinya untuk tidak bermegah-megahan. Dan ini adalah sebagai penghargaan atas iman dan amal s}alih} mereka (Qs. Al-H{ajj /22;23).

Rumah-rumah mereka berupa gedung-gedung bertingkat yang di bawahnya banyak mengalir sungai yang beraneka warna (Qs.Al-Zumar/39;20). Sungai-sungai tersebut tidak pernah mengalami perubahan baik rasa dan baunya. Jenisnya sangat variatif, ada sungai-sungai air susu, sungai arak yang lezat dan tidak beralkohol, sungai-sungai madu yang disaring, dan juga disediakan segala kebutuhan dan keinginan akan buah-buahan sebagaimana pula disediakan segala ampunan (Qs. Muhammad /27;15).

Adapun penghuni surga adalah orang yang beriman dan beramal s}alih}, yang tidak pernah tersentuh oleh neraka,[44] yang disebut sebagai kelompok al-su’ada’, orang-orang yang menemukan kebahagiaan (Qs. Hud/11:108), yang berbahagia karena kebajikan-kebajikannya.[45]

Para penghuni surga itu disucikan dari segala dosa, segala keinginan terpenuhi, dimuliakan dengan segala kenikmatan, masing-masing orang memiliki tahta beserta hiasannya, dengan pelayanan minum-minuman yang sedap rasanya sesuai keinginan surgawi dalam piala-piala yang indah yang dibawakan oleh para bidadari yang “jinak” (Qs. Al-S}affat /37; 40-49, 60-62). Di sinilah kaum mukmin memperoleh segala yang dikehendakinya (Qs. Qaaf/50;35). Orang-orang beriman ini akan berkumpul kembali dengan keluargannya atau yang dikasihinnya di dunia dulu, jika memang sama-sama beriman, dan masing-masing tak ada yang pahalanya berkurang (walaupun mungkin di dunia dulunya sebagian amal dan do’anya, pahala diperuntukkan bagi keluarganya yang lain –Qs. Al-T{ur /52;21). Dan tentu saja kebahagiaan tertinggi adalah diberikannya mereka wajah yang berseri-seri dan dengan wajah itulah mereka “melihat Tuhan” [ru’yah] (Qs. Al-Qiyamah/75;22-23).

Surga diciptakan oleh Allah tidak hanya satu jenis. Sejauh pernyataan harfiyah al-Qur`an, surga berjumlah empat. Empat surga itu pun oleh Allah diklasifikasikan dalam dua gambaran. Pertama, surga yang terdiri dari pohon-pohonan serta buah-buahan, memiliki dua mata air, segala buah dan makanan yang diinginkan berdatangan sendiri, penghuninya duduk dalam permadani sutra di bawah rerimbunan pepohonan dengan didampingi oleh bidadari yang belum/tidak pernah tersentuh, seperti permata yakut dan marjan. Di sinilah segala bentuk kebaikan dibalas (Qs. Al-Rah}man /55;46-63).[46]

Kedua, surga berwarna hijau yang memiliki dua mata air yang memancar, penuh dengan buah-buahan terutama kurma dan delima, juga dihiasi dengan bidadari yang baik dan cantik jelita yang dipingit dalam ruang-ruang khusus, serta belum pernah tersentuh, dengan kesucian abadi, mereka bercengkerama dan duduk-duduk dalam tahta hijau berpermadani indah. Semua ini tidak lain adalah menunjukkan keagungan Allah (Qs. Al-Rah}man / 55; 64-78). Nampaknya surga kedua inilah yang lebih realistis, dan inilah surganya para Nabi, syuhada’, shiddiqin, dan s}alih}in. Di bawah yang berwarna hijau, masih ada yang berwarna kuning, merah, putih dan hitam sesuai dengan derajat penghuninya.[47]

Surga tersebut hanyalah disediakan bagi orang yang bertaqwa, dan mereka senantiasa selalu berusaha dan berdoa. Dalam Qs. Ali Imran/3;15-17 dicantumkan sebagian ahli-ahli surga yakni yang melakukan;

(1)      Berdo’a rabbana innana amanna fagfirlana żunubana waqina ‘ażab al-nar,

(2)      Shabar,

(3)      Qanitat [ketaatan yang tidak pernah luntur],

(4)      Menafkahkan hartanya dijalan Allah,

(5)      Selalu meminta ampun di waktu sahur (sebelum fajar mendekati subuh).

Jadi surga merupakan alat tukar yang diberikan Allah hanya kepada orang-orang yang memberikan jiwa dan hartanya demi jihad Islam,[48] bertaubat, beribadat, selalu memuji Allah, melawat untuk mencari ilmu dan berjihad serta berpuasa, selalu ruku’ dan sujud, mengerjakan ‘amar ma’ruf nahi munkar secara aktif serta selalu memelihara hukum-hukum Allah (Qs. Al-Taubah/9;111-112). Mereka itulah yang disebut sebagai golongan kanan yang paling dulu beriman (Qs. Al-Waqi’ah/56;8-10), yang sebagian besarnya adalah ummat terdahulu sebelum Rasulullah, dan sebagian kecil adalah umat Rasulullah Muhammad (ayat 13-14).

Bagi mereka akan diberi pahala; (1) tahta dari emas, (2) selalu akrab antara satu dengan yang lain, (3) selalu muda, (4) disediakan segala macam minuman yang tidak memabukkan dan tidak membosankan, (5) tersedia segala aneka buah-buahan yang tiada henti, (6) daging-daging segala hewan, (7) bidadari yang seperti mutiara tersimpan, (8) tidak ada perkataan buruk sama sekali kecuali ucapan salam dan dikelilingi pohon-pohon bidara tanpa duri serta pisang-pisang yang indah dan lebat, (9) diberi naungan yang luas dan indah, (10) air yang senantiasa tercurah, (11) kasur-kasur tebal dengan bidadari yang tetap perawan, sebaya serta penuh cinta dan kasih-sayang.

Allah juga membuat tamsilan surga itu sebagai tempat bagi orang yang bertaqwa yang sungai-sungainya mengalir terus menerus, buah-buahannya tumbuh tanpa henti, dan kerindangannya menaungi dengan teduh (Qs. Al-Ra’d/13:35). Sedangkan sungai-sungai itu tidak pernah rusak, sungai susunya tidak pernah berubah cita rasanya, sungai-sungai minuman yang lezat, sungai madu yang murni-bersih, segala macam, buah-buahan, dan disertai dengan penuhnya ampunan Allah. Dan ini berkebalikan dengan kondisi neraka yang disiapkan konsumsinya dengan air yang mendidih dan api menggelegak (Qs. Muhammad /47:15).

Dari uraian di atas, nampak jelas bahwa janji surga yang diiringi dengan janji adanya bidadari di surga hanya menyangkut amal-amal tertentu, walaupun secara umum disebutkan bahwa hal itu teruntuk bagi orang beriman dan beramal s}alih}.

al-Sabuni menyebutkan bahwa kabar gembira dengan surga yang teriring dengan janji pasangan bidadari diperuntukkan bagi orang beriman yang bertaqwa, menegakkan keimanan dan ketaqwaannya dengan perilaku sehari-hari,[49] dan di dunia termasuk orang yang muhsinun, yang merupakan hasil terkumpulnya watak keimanan dan amal s}alih},[50] mengutamakan kebajikan dalam segala segi (al-abrar) dan mengataskan keataatan kepada Allah,[51] yang dengan al-abrar serta al-‘amal al- s}alih} itulah di akhirat wajah mereka akan diputihkan oleh Allah.[52]

Keimanan mereka adalah suatu sikap pembenaran total atas ayat-ayat Allah, yang dengan itu ia benar-benar berserah diri atas hukum-hukum Allah serta semua perintah-Nya, dan berislam atas-Nya dengan menekadkan dalam hatinya untuk selalu mentaati-Nya.[53]

Bagi mereka, menurut al-Sabuni, selain mendapatkan balasan berkumpul dengan keluarga, yakni isteri/suami (syarikahum) dan anak-anaknya, juga mendapatkan balasan bidadari sebagai pasangan dan pendampingntya.[54] Jadi, di sini secara jelas, al-Sabuni membedakan antara isteri/suami bagi ahli surga dengan bidadari. Ini berarti al-Sabuni memegang pendapat yang menyatakan bahwa bidadari khusus diciptakan di surga.

Karakter lain yang disebut al-Sabuni, bagi hamba yang mendapatkan nikmat tambahan bidadari adalah seorang hamba yang di saat berdiri menyembah Tuhannya selalu merasa takut karena ia menghisab dirinya atas amalnya sendiri.[55] Sifat khafa ini tentunya adalah sebagai efek ketaqwaan yang mendalam dalam diri seorang mukmin, yang disebut sebagai selalu berhati-hati dalam menjaga dan mensucikan kerimanannya,[56] sehingga keadaannya mendatangkan kekaguman dari Allah dan penghuni langit.[57]

Dari hisabnya itulah, kemudian seorang beriman selalu berbuat kebajikan dengan penuh keikhlasan. al-Sabuni juga menyatakan bahwa hamba yang mendapat karunia surga beserta bidadarinya adalah orang beriman yang dalam beribadahnya dihiasi dengan keikhlasan meng-Esakan Allah (ikhlas tauhid). Sehingga bukan karena dorongan takut akan ‘ażab. Ia tidak pernah kendor dalam hisab pribadinya, tidak pernah bertambah kejelekannya, justru amal kebaikannya yang selalu meningkat.[58]

al-Sabuni juga menyebutkan karakter; seseorang yang selalu menjadi pelopor atas kebaikan (al-khairat) dan keadaban (al-hasanat), baik dari kalangan umat era Nabi maupun dalam masa akhir, selalu mendekatkan diri kepada Allah, di dalam kesendirian dunia, dalam naungan ‘arsy, dan di tempat ibadah yang dimuliakan,[59] atau tegasnya orang yang dalam ketaqwaannya berada dalam kepengikutan pola Rasulullah.[60] Merekalah penghuni tetap surga selamanya.[61] Sebab memang surga disediakan oleh Allah bagi pemilik sifat di atas –disertai dengan jihad dan bertaubat- yang nikmat-nikmatnya tidak akan berakhir, kebahagiaan penduduknya tidak pernah surut dan segala apa yang diterima mereka tidak bisa dikira-kirakan, apalagi dihitung.[62] Sehingga penggambarannya hanya dapat dilakukan dengan simbol-simbol yang gampang dimengerti manusia.

Jadi terhadap pertanyaan, apakah semua orang beriman yang masuk surga pasti mendapatkan balasan bidadari? Maka dalam hal ini memang dalam tafsir S{afwah -nya, al-Sabuni tidak pernah menyatakan secara tegas, namun melihat klasifikasi yang disebutkan di atas, nampaknya, jawabannya tidak semua yang masuk surga pasti mendapatkan bidadari. Hanya yang memiliki karakter amal s}alih}di atas yang mendapatkan kelengkapan bidadari, sehingga inilah jawaban atas pertanyaan mengapa pahala bidadari disebut sebagai nikmat tambahan.

Klasifikasi tersebut juga mengisyaratkan bahwa yang terpenting bukanlah mendapatkan bidadarinya, akan tetapi jenis amal perbuatan yang menyebabkan seseorang mendapatkan kesempurnaan balasan dengan simbol bidadari itulah yang menjadi tujuan simbol tersebut.

Simbolitas ini semakin nampak, jika ditilik dari segi sastra. al-Sabuni mengungkapkan bahwa balasan Allah berupa bidadari yang elok dan belum pernah tersentuh, jelas merupakan bentuk penggambaran yang tidak menyebutkan sisi penggambarannya, oleh karena kata bantu penggambarannya tidak disebutkan pula maka dalam disiplin ilmu sastra arab disebut tasybih-mursal-mujmal.[63]

Dengan simbolitas-simbolitas itulah, kesenangan manusia yang terpendam dalam dirinya diusik agar berubah menjadi motivasi positif bagi kehidupan keagamaannya. Maka pertanyaan Allah yang diulang-ulang dalam Qs. Al-Rah}man menjadi sangat relevan, “ni’mat Tuhan yang mana yang bisa kamu dustakan?”. Menurut al-Sabuni, pertanyaan ini mengandung teguran keras dan celaan,[64] karena tidak ada nikmat yang bisa didustakan, namun dalam prakteknya manusia banyak yang tidak mengaplikasikan. Jadi ruh ayat-ayat simbol tersebut bukan pada bentuk simbolnya, akan tetapi ruhnya adalah kata “ni’mat” sebagai balasan amal kebajikan di surga.[65]

[1] M. Ali al-S{abuni, Op, Cit, jl. I, hlm. 36.

[2] Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung, dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya. (Qs. Al-Wāqi’ah 35-38).

[3] S{afwah al-Tafāsīr , jl. III, hlm. 291.

[4] Ibid., hlm. 291.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] Ibid. Bandingkan dengan Tafsīr al- Qurt}ubī jl. 17, hlm. 210.

[8] S{afwah al-Tafāsīr , jl. III, hlm. 291-292.

[9] Ibnu Qayyim, Op. Cit., hlm. 339-340.

[10] Ibnu Qayyim, Op. Cit., hlm. 343-345.

[11] Firuzabadī, Op. Cit., hlm. 376.

[12] Ibnu Qayyim, Op. Cit. hlm. 308.

[13] Mushţafa Bisyri, Op. Cit., hlm. 313.

[14] M. Ali al-S{abuni, Op, Cit, jl. III, hlm. 289.

[15] Bandingkan dengan Ibid., hlm. 470.



[16] Ibid.

[17] Ibid.

[18] Ibnu Qayyim, Op. Cit., hlm. 309.

[19] Ibid., hlm. 310-311.

[20] M. Ali al-S{abuni, Op, Cit, jl. I, h.36.

[21] Ibid., hlm.36.



[22] Ibid., jl. III, hlm. 283.

[23] Ibid.

[24] Ibid., hlm. 282.

[25] Ibid.

[26] Ibid., hlm. 283-284.

[27] Ibid.

[28] Ibid.

[29] Ibid., hlm. 291.

[30] Ibid.

[31] Ibid.

[32] Ibid.

[33] Ibid.

[34] Ibid.

[35] Ibid., hlm. 290.

[36] Ibid.

[37] Ibid., hlm. 485.

[38] Ibid., hlm. 291.

[39] Ibid., hlm. 153.

[40] Ibid., hlm. 246.

[41] Muhammad Sholikhin. Berwisata ke Alam Akhirat, (Semarang: Risalah Pengajian Paguyuban ‘Arafah), 2001, hlm. 152.

[42] al-Marbawī, Op. Cit., hlm. 110.

[43] Qs. Al-Hijr/15;43-48; lihat Muhammad ‘Alī al-S{ābūnī. S}afwah al-Tafāsīr  Tafsīr al-Qur`ān al-‘Adzim, (Jakarta: Dār al-Kutub al-Islāmiyah, 1999/1420), jl. II, h.112.



[44] Ibid., jl. I, hlm. 63.

[45] Ibid., jl. II, hlm. 35.



[46] Muhammad Sholikhin, Op. Cit., hlm. 154-155.

[47] Ibid.



[48] M. Ali al-S{abuni, Op, Cit, jl. I, hlm. 525-526.



[49] Ibid., jl. III, hlm. 165.; lihat juga jl. I, 172.

[50] Ibid., hlm. 36.

[51] Ibid., jl. III, hlm. 485.

[52] Ibid., jl. I, hlm. 202.

[53] Ibid., jl. III, hlm. 153.

[54] Ibid., hlm. 246.

[55] Ibid., hlm. 281.

[56] Ibid., hlm. 288.

[57] Ibid., juga hlm. 290.

[58] Ibid., hlm. 29.

[59] Ibid., hlm. 289.

[60] Ibid., hlm. 56.

[61] Ibid., jl. I, hlm. 232.

[62] Ibid., jl. I, hlm. 525; juga lihat Sayid Sabiq, al-‘Aqā’id al-Islāmiyah, Dār al-Fikr, Beirut, 1992, hlm. 302.

[63] Ibid., jl. III, hlm. 298; juga Ali al-Jarimi dan Mushtafa Amin, al- Balagah al-Wad}ih}ah, hlm. 25.

[64] Ibid., jl. III, h.288.

[65] lihat misalnya Ibid., h.31 dan 282. Nampak bahwa pensifatan atas bidadari sebenarnya bukan mengacu kepada bidadarinya itu sendiri, tetapi justru ditujukan kepada ni’mat yang diterima oleh penghuni surga.

Sumber Referensi : Satria Baja Hikam

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.